Korupsi seolah telah menjadi budaya di Indonesia yang tidak dapat
dihindari bahkan telah mengakar, ibarat jamur yang telah tumbuh di tempat yang
cocok untuk habitatnya. Suatu hal yang dilakukan berulang-ulang memang akan
menumbuhkan habit dan sebuah habit akan sulit untuk dihilangkan. Sama halnya
dengan “habit korupsi di Indonesia” kebiasaan korupsi di Indonesia sudah ada
sejak sebelum Indonesia merdeka tepatnya ketika Indonesia masih dijajah oleh
Barat. Pada masa penjajahan Belanda para petinggi pemerintahan yang dipegang
oleh orang-orang Belanda telah memberikan contoh kepada Indonesia mengenai
korupsi hingga habit tersebut menurun pada Indonesia.
Hal diatas
merupakan salah satu dari faktor penyebab membudayanya korupsi di Indonesia,
yang apabila kita analisis faktor tersebut cukup berpengaruh besar pada
pertumbuhan korupsi di Indonesia. Apalagi sifat orang-orang Indonesia yang
“lebih mementingkan perut”, mereka akan melakukan apapun untuk dapat memuaskan
perut mereka termasuk melakukan tindakan korupsi. Para petinggi yang telah
digaji besar oleh pemerintah masih tidak puas dengan apa yang telah mereka
terima hingga muncul pemikiran untuk melakukan tindak korupsi. Apa sebenarnya
yang melandasi tindakan tersebut ?pertama, sikap individualis. Kedua,
materialis, orang-orang tersebut merasa belum puas mendapat pemasukan yang bisa
dikatakan besar. Ketiga, sistem yang salah, penyebab dari membudayanya korupsi
di Indonesia tidak lain karena sistem yang dianut Indonesia memberi peluang
untuk melakukan tindakan haram tersebut. Demokrasi merupakan sistem yang
berasaskan sekulerisme yaitu memisahkan agama dari kehidupan, politik, dan
negara. Inilah yang memicu hilangnya keimanan dan ketakwaan seseorang. Pada
akhirnya standar subyektif menjadi pandangan masing-masing. Konsekuensi
logisnya muncul pragmatisme dan perilaku transaksional.
Indonesia tidak
akan pernah bebas dari korupsi meski hanya satu detik. Meskipun presiden Susilo
Bambang Yudhoyono telah memerintahkan KPK untuk menangani kasus korupsi namun,
harapan Indonesia untuk bebas dari korupsi sulit terwujud. Ada beberapa faktor
yang memungkinkan hal tersebut sulit terwujud, pertama, sistem sekulerisme yang
memisahkan akidah dengan agama dari negara dan kehidupan menyebabkan hilangnya
nilai-nilai ketakwaan dari politik dan pemerintahan. Hal itu menyebabkan tidak
adalnya kontrol internal yang built in menyatu dalam diri para politisi,
pejabat, aparatur, dan pegawai. Di sisi lain, hukum di Indonesia sangat tumpul,
aturan-aturan yang ada mudah untuk direkayasa, dicari celahnya dan sanksi bagi
yang terbukti bersalah pun sangat ringan. Kedua, sistem politik demokrasi yang
mahal menjadi salah satu sumber masalah korupsi, untuk menjadi seorang politisi
dibutuhkan biaya yang cukup besar. Misalnya saja untuk menjadi kepala daerah,
membutuhkan biaya puluhan bahkan ratusan miliar, dan biaya tersebut tidak akan
dapat tertutupi atau terganti dari gaji dan tunjangan selama menjabat. Bagaimana
agar bisa balik modal ? maka ditempuhlah cara-cara “legal tapi curang” atau
“curang tapi legal” seperti proses tender diatur, yang dimana hal semacam ini
sudah menjadi rahasia umum. Cara tersingkat untuk agar balik modal adalah
dengan korupsi. Maka tidak heran jika sangat jarang ada politisi dan pejabat
pemerintahan yang bersih. ICW mencatat (Republika.co.id, 4/10) ada 44
kader parpol terjerat kasus korupsi dari Januari – Juni 2012. Sebanyak 21 orang
berasal dari kalangan atau mantan anggota dewan di pusat maupun di daerah, 21
orang dari kepala daerah atau mantan dan dua orang pengurus partai. Ketiga,
korupsi telah mengakar sedangkan sistem pengendaliannya begitu lemah. Sistem
hukum di Indonesia berbelit dalam upaya membuktikan kasus korupsi dan banyaknya
celah bagi para koruptor untuk lolos. Sanksi yang dijatuhkan untuk para
koruptor pun sangat ringan. Jangankan untuk mencegah orang melakukan tindakan
korupsi, koruptor pun tidak jera. Oleh karena itu, sangat wajar korupsi di
Indonesia seolah menjadi budaya dan bahkan sulit untuk diberantas.
Harapan untuk
bebas dari korupsi hanya dapat terwujud jika dilakukan dengan menggunakan
sistem lain, sebab sistem yang dipergunakan saat ini justru sistem yang menjadi
faktor penyebab korupsi itu sendiri. Sistem yang dapat diharapkan adalah
syariah Islam. Pertama, dasar akidah Islam melahirkan sikap kesadaran
senantiasa diawasi oleh Allah dan melahirkan ketakwaan pada diri politisi,
pejabat, aparat, pegawai, dan masyarakat. Negara diwajibkan terus membina ketakwaan
itu sehingga lahirlah kontrol dan pengawasaan internal yang built in menyatu
dalam diri pemimpin, politisi, pejabat, aparat, dan pegawai yang dapat mencegah
mereka untuk korupsi. Kedua, politisi dan proses, kekuasaan dan pemerintahan
tidak bergantung dan tidak tersandera oleh parpol. Peran parpol dalam Islam
adalah fokus mendakwahkan Islam, amar makruf dan nahi mungkar atau mengoreksi
dan mengontrol penguasa. Anggota Majelis umat tidak memiliki kekuasaan politik
dan anggaran sehingga mafia anggaran tidak akan terjadi. Keempat, praktek
korupsi andai terjadi dapat diberantas dengan sistem hukum syariah bahkan
dicegah agar tidak terjadi. Dalam sistem Islam kriteria harta ghulul itu jelas.
Harta yang didapat atau diambil di luar imbalan legal misal, harta yang
diperoleh dari faktor jabatan, tugas, posisi, kekuasaan sekalipun disebut
hadiah, harta pejabat, aparat, dsb, yang melebihi kewajaran yang tidak dapat
dibuktikan diperoleh secara legal semua itu termasuk harta ghulul. Dan di
akhirat akan mendatangkan azab. Allah berfirman :
وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لا يُظْلَمُون
Barang siapa yang berbuat curang, maka pada hari kiamat ia akan
datang membawa hasil kecurangannya. (Qs Ali-Imran [3] : 161)
Nabi saw bersabda :
Siapa dari kalian kami pekerjakan atas suatu pekerjaan lalu ia
menyembunyikan sebatang jarum atau lebih maka itu adalah ghulul yang ia bawa
pada hari kiamat.(HR Muslim dan
Abu Dawud)
«مَنِ
اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ
فَهُوَ غُلُولٌ»
Siapa yang kami pekerjakan atas satu pekerjaan dan kami tetapkan
gajinya, maka apa yang dia ambil selain itu adalah ghulul. (HR Abu Dawud dan Ibn Khuzainah)
Ketika khilafah dibawah pemerintahan
Umar bin Khathab ra, khalifah Umar bin Khathab mempergunakan ijmak sahabat.
Harta pejabat dan pegawai dicatat. Apabila ada kelebihan harta yang tidak
wajar, yang bersangkutan wajib membuktikan hartanya diperoleh secara legal.
Jumlah harta yang dapat tidak dapat dibuktikan, hartanya akan disita seluruhnya
atau sebagian dan dimasukkan ke kas baitul mal. Sanksi bagi pelaku memberikan
efek cegah dan jera. Sebagai bagian dari ta’zir , bentuk dan kadar
sanksi atas tindak korupsi diserahkan kepada ijtihad khalifah atau qadhi, bisa
disita seperti yang dilakukan Umar, atau tasyhir, penjara, hingga hukuman mati
dengan mempertimbangkan dampak, kerugian bagi negara dan dhararnya bagi
masyarakat.
Selain itu, kita juga dapat
mepergunakan IPTEK sebagai sarana untuk mengatasi korupsi yang telah menjadi
budaya di Indonesia. Sarana IPTEK apabila dimanfaatkan dengan baik maka akan
memberikan kemajuan dan kebaikan bagi suatu negara. Namun, IPTEK juga mampu
menjadi sarana penghancur bagi suatu negara apabila IPTEK dimanfaatkan untuk
suatu tujuan buruk. Peran IPTEK dalam
pencegahan korupsi adalah transparansi. Untuk dapat mencegah terjadinya tindak
korupsi dapat diturunkan melalui peningkatan transparansi. Misalnya pada
pengadaan barang dan jasa pemerintah. Teknologi informasi memiliki peran yang
besar dalam meningkatkan transparansi sehingga proses pengawasan oleh
masyarakat akan semakin tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar