Indonesia sebagai
negara berkembang, hingga saat ini belum mampu menopang pendapatan negara
secara mandiri. Dengan banyaknya pengeluaran yang diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat tetapi tidak dibarengi dengan pemasukan yang seimbang, maka
Indonesia terpaksa meminjam uang ke negara lain guna menutupi defisit APBN-nya.
Aktivitas utang mengutang ini telah terjalin sejak presiden pertama memimpin
Indonesia dan terus berlanjut hingga sekarang. Utang Indonesia per akhir
Desember 2017 mencapai sekitar 4.773 triliun naik 10,1% dibandingkan posisi
sama tahun sebelumnya. (Katadata.co.id, 20/2). Adapun saat ini, utang Indonesia
telah tembus angka 5.425 triliun (kurs Rp14.000 per dolar AS) naik 8,7 persen
dibanding periode yang sama tahun lalu. (Bangkapos.com, 16/5).
Menurut Direktur
Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Agusman, kenaikan utang ini diakibatkan
oleh semakin meningkatnya kebutuhan pembangunan dalam negeri. Saat ini
pemerintah sedang berusaha untuk mempercepat pembangunan dalam negeri. Oleh
karena itu, dibutuhkan dana lebih agar rencana tersebut bisa segera terlaksana.
Kenaikan ini tentu saja berbahaya bagi masa depan Indonesia sendiri. Menurut
Ekonom INDEF, Enny Sri Hartati, jumlah utang tersebut ‘pasti tidak aman’ karena
bunga dan cicilannya dibayar dengan ‘gali lubang, tutup lubang’. Pembayaran
utang diambil dari uang pajak yang mana tidak selalu memenuhi target (bbc.com,
12/3). Artinya, ketika utang semakin membengkak maka pajak pun akan ikut naik.
Sebab, pembayaran utang adalah dengan menggunakan pajak.
Meski demikian, peningkatan utang
tersebut tidak mampu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Peningkatan utang
terbukti belum mampu mendorong pertumbuhan investasi sektor produktif.
Pertumbuhan investasi hanya nampak pada sektor jasa saja. Padahal sektor jasa
tidak mempunyai efek yang begitu besar dibandingkan sektor rill yang memiliki
efek berganda pada kesejahteraan masyarakat. Di satu sisi, peningkatan jumlah
utang tersebut tidak sejalan dengan pengalokasian APBN. Dalam struktur APBN,
dana lebih banyak dialokasikan untuk belanja pegawai dan barang. Adapun,
belanja modal relatif stagnan. Sementara alokasi subsidi dan bantuan mengalami
penurunan.
Negara Kaya
Dengan kondisi
Indonesia yang terlilit utang hingga mencapai 5000 triliun. Ternyata Indonesia
adalah negara yang kaya. Indonesia merupakan negara dengan wilayah perairan
terluas nomor 7. Hutan terluas nomor 9. Gunungnya menyimpan berbagai macam
hasil tambang seperti, emas, tembaga, nikel, bijih besi. Sumber mata air yang
melimpah, ditambah keanekaragaman satwa dan tanamannya. Tanahnya subur, bahkan
dalam sebuah lagu diandaikan “…tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu
jadi tanaman”. Namun, kekayaannya tak bernilai apa-apa selain sebagai ‘makanan’
bagi asing.
Pemerintah
mengambil kebijakan untuk menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada
asing. Sebab, negara tidak mampu untuk mengelola sendiri, negara tidak memiliki
alat-alat, para ilmuwan, dan pengelolanya. Sedangkan negara lain lebih mampu
untuk mengelola sumber daya alam Indonesia menjadi sesuatu yang dapat
dimanfaatkan. Melalui perjanjian, Indonesia merelakan kekayaannya dikelola oleh
asing. Penyerahan kekayaan kepada asing didasarkan pada alasan bahwa Indonesia
akan mendapatkan manfaat dari pengelolaan tersebut. Salah satunya adalah adanya
pembangunan yang dilakukan di daerah-daerah tempat pengelolaan sumber daya
alam. Meski faktanya, banyak perusahaan-perusahaan asing yang mengelola sumber
daya alam Indonesia tetapi tidak melakukan pembangunan di wilayah yang telah
ditentukan. Seperti salah satu tambang emas di Papua yang dikelola oleh PT
Freeport. Pendapatan per tahun dari hasil pengelolaan tersebut adalah berkisar
50 triliun. Namun, dampak ekonomi yang dirasakan oleh penduduk setempat tidak
meningkat. Ditambah adanya pencemaran yang dirasakan oleh masyrakat yang
berasal dari limbah perusahaan yakni pencemaran yang terjadi di beberapa sungai
di Mimika dan Sungai Ajkwa.
Bahaya Hutang Luar Negeri
Pembangunan
infrastruktur yang mengandalkan utang luar negeri sesungguhnya hanya
mengantarkan negara kepada keterjajahan. No free lunch ‘tidak ada makan
siang gratis’. Setiap perjanjian utang luar negeri pastilah memiliki timbal
balik yang harus diberikan oleh pemerintah kepada debitur. Debitur juga akan
melakukan intervensi terhadap setiap kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh
negara yang berutang. Mereka memastikan bahwa negara tersebut tidak akan mampu
membayar utangnya dan akan terus berutang kepada mereka.
Inggris tidak
menjajah Mesir melainkan dengan utang. Perancis tidak menjajah Tunisia
melainkan dengan jalan utang. Negara-negara besar tersebut memberikan utang
untuk kemudian mengintervensi suatu negara melalui jalan utang.
Pada sekitar tahun
1864 dan 1865 utang Mesir mencapai jumlah 95 juta. Beberapa tahun kemudian,
datang ekspedisi penelitian untuk memeriksa keuangan Mesir. Utusan ini
mengusulkan mengenai reformasi keuangannya dengan cara membentuk pengawasan
keuangan. Al-Khudaiwi Taufiq sebagai penguasa Mesir saat itu terpaksa tunduk
pada kebijakannya dan ia tidak boleh mengadakan akad utang kecuali dengan
persetujuannya. Pembentukan lembaga kredit pun tidak terlepas dari intervensi
Perancis dan Inggris. Guna mengawasi keuangan Mesir maka dimasukanlah dua orang
pengawas dari Perancis dan Inggris. Satu orang Inggris bertugas sebagai
pengawas pendapatan umum pemerintah dan satu orang yang lain berasal dari
Perancis untuk mengawasi pengeluaran-pengeluarannya. Intervensi tersebut
semakin berkembang hingga pada pembentukan kementerian campuran. Tak bisa
dipungkiri bahwa pada saat itu negara Perancis dan Inggris ikut campur di
hampir seluruh segi kehidupan masyarakat Mesir.
Metode yang
digunakan oleh barat ini telah melalui proses penelitian terlebih dahulu.
Maksudnya, sebelum negara barat memberikan utang kepada negara lain, mereka
akan meneliti terlebih dahulu keadaan negara tersebut, seperti kekuatan ekonomi
suatu negara untuk kemudian menetapkan proyek-proyek yang akan mereka danai. Namun,
mereka tidak serta merta langsung memberikan utang kepada negara tersebut.
Mereka baru akan memberikan utang ketika negara mengalami suatu kekacauan atau
kesulitan. Maka dirancanglah agar negara mengalami kekacauan sehingga negara
terpaksa berutang kepada mereka. Dari sinilah, negara barat mulai menancapkan
kuku-kukunya di negara tersebut.
Indonesia sendiri memiliki utang
jangka panjang dan utang jangka pendek. Utang jangka panjang biasanya memiliki
batas waktu pembayaran yang cukup lama (toleransi). Namun, ketika utang sudah
banyak kemudian negara tidak mampu membayar maka APBN akan mengalami kekacauan.
Kemudian negara tidak mampu membayar utang-utang tersebut dengan uang, emas
atau barang-barang bergerak. Akhirnya, negara melunasi dengan barang tidak
bergerak seperti real estate, tanah dan juga pabrik-pabrik (BUMN). Dari sini,
negara debitur mendapatkan kekayaan dari negara tersebut untuk kemudian dapat
mengintervensi dan mendominasi negara.
Oleh karena itu,
sesungguhnya utang-utang yang diterima dari negara barat itu tidak akan menghasilkan
apa-apa kecuali kehancuran suatu negara. Bantuan keuangan yang diberikan oleh
Amerika dan negara-negara lain tidak lebih dari alat untuk mendominasi suatu
negara. Terbukti, keadaan ekonomi Turki dan Iran sebelum meminjam utang lebih
baik daripada setelah berutang. Keadaan ekonomi mereka semakin memburuk setelah
melakukan transaksi utang dengan negara barat. Hal itu dilihat dari hasil
laporan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Dengan demikian, terlihat jelas
bahwa tujuan negara barat memberikan utang bukanlah untuk mengeluarkan suatu
negara dari keterpurukan melainkan untuk mendominasi suatu negara. Terlebih
lagi, utang-utang yang diberikan oleh asing tidak terlepas dari riba sedangkan
riba itu haram. Maka mengambil utang-utang itu menjadi haram. Di samping itu,
utang tersebut hanya akan mengantarkan suatu negara kepada ketundukan bukan
kesejahteraan.